Penerapan Nilai-Nilai Islam Dalam Peradaban Masa Kini
Prof DR H Akhwan Muharrom, MA
Imam Ghozali, menjelaskan bahwa syukur itu meliputi 3 aspek, pertama,lisan (pengakuan dalam lisan). Mengucapkan Alhamdulillah, setiap mendapatkan nikmat. Kedua, janan (Ikhlas dalam hati). Dalam mengucapkan syukur Alhamdulillah. Ketiga, Jawarikh (syukur dalam bentuk perbuatan). Misalnya, ketika kita diberi nikmat kesehatan, lalu dipakai untuk beribadah, dan semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Hari ini, salah satu perhatian kita tertuju kepada kesiapan dan persiapan saudara-saudara kita yang akan menunaikan ibadah haji. Sesyogyanya sebagai sesama muslim kita harus mengapresiasi atas keberangkatan mereka. Setidaknya mendoakan mereka semoga berangkat dengan selamat dan pulang membawa predikat haji mabrur. Kita berkepentingan dengan kemabruran haji mereka. Karena haji mabrur yaitu asset umat, untuk membangun bangsa dan masyarakat. lantaran mustahil haji mabrur, berlaku tindakan KKN, mustahil haji mabrur ngemplang pajak, haji mabrur tidak akan tidur ketika rapat di DPR, atau akal-akalan tidur ketika ada kerja bhakti di kampungnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam khutbah Wukuf di Arafah, pada ketika haji wada’. Yang sebagian yaitu sebagai berikut :
Yaa ayyuhan naas inna robbakum waahid, wa inna aabaaukum waahid kullukum min aadam, wa aadamu min turaab, inna akromakum ‘indallaahi atqaakum laa fadla li’arobiyyin wa laa ‘ajamiyin wa laa ‘ajamiyin ‘alaa ‘arabiyin illaa bitaqwa.(Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Tuhanmu itu yaitu Esa, dan sesungguhnya, bapakmu yaitu satu, kau semua dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, bersama-sama orang yang paling mulia di antara kau di hadapan Allah yaitu yang paling taqwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa).
Nilai esensial, dari khutbah Rasulullah SAW ini adalah, pertama, ratifikasi ketahudan. Kedua, penataan Rasulullah SAW terhadap umat manusia. Bahwa insan mempunyai kapasitas egaliter (kesamaan) dan persaudaraan.
Dalam perspektif sejarah, ketika dia mengawali dakwahnya, salah satu kiprah berat yang harus dipikul Rasulullah SAW yaitu ratifikasi persamaan antara as siyadah wal ‘abid (tuan dan hamba). Orang Arab terbiasa dengan aristokrasi. Bangsawan dengan banyak sekali beberapa budak yang mengelilinginya. Budak bagi bangsa Arab yaitu harta kekayaan, dia tidak mempunyai hak sedikitpun, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sementara tuannya, mempunyai hak sepenuhnya atas budaknya. Jadi, amat berat Rasulullah SAW memberikan fatwa persamaan hak tersebut. Penentangan yang luar biasa berasal dari aristokrasi Makkah pada ketika itu, lantaran menganggap fatwa persamaan hak ini merupakan fatwa yang aneh dan tidak lazim. Karena tuan yaitu pemilik, sementara budak yaitu yang dimiliki, sehingga tidak akan mungkin mempunyai kesamaan hak. Namun, dengan kegigihan Rasulullah SAW sanggup memberikan fatwa ini dengan sukses.
Dewasa ini, zaman yang berada di kala modern, kala yang serba ilmu pengetahuan, di mana ilmu pengetahuan menjadi komandan bagi kehidupan kita, seperti tidak ada sekat, maka, penerapan nilai fatwa penyamaan hak dan persaudaraan ini harus lebih mengarah dengan cara ilmu pengetahuan.
Kita gres saja membuka “kunci rumah”, namun belum terbuka lebar. Sekarang “pintu” itu sudah agak terbuka, di mana pergaulan antar dunia, sudah sedemikian melekat, dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa yang terjadi di benua lain, sanggup terjadi di benua kita. Atau bahkan terjadi di rumak kita pada hari ini juga. Era yang demikian ini, membutuhkan perhatian ekstra. Bukan hanya membawa imbas perkembangan negative ekonomi, sosial, politik, tetapi, kenyataan ini akan mengancam kehidupan keberagamaan kita. Nilai-nilai persaudaraan sesama muslim mulai terkoyak. Kita melihat kondisi saudara kita yang berada di Yaman, di Siria, di Palestina, di Mesir dlsb.
Kita sebagai hamba Allah, seharusnya bangga, lantaran Rasulullah SAW sendiri besar hati dengan menyandang ‘abdullah (hamba Allah). Tetapi, apakah orientasi sebagai hamba Allah sudah konsisten, bahwa hanya kepada Allah, kita berorientasi tidak kepada yang selainNya. Seorang hamba Allah, akan lebih gampang mendapatkan peringatan, kalau peringatan itu datangnya dari sesama saudara kita. Maka, di sinilah pentingnya persaudaraan itu.
Di kala yang kini ini, di mana kita diharuskan menerapkan nilai-nilai kesamaan dan persaudaraan tidak lagi memakai cara-cara doktriner. Tetapi, lantaran eranya sudah kala ilmu pengetahuan, maka seharusnya dengan cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Semoga kita sanggup menerapkan fatwa Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam khutbah haji wada’ itu, sehingga persaudaraan dan persamaan hak sanggup kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hari ini, salah satu perhatian kita tertuju kepada kesiapan dan persiapan saudara-saudara kita yang akan menunaikan ibadah haji. Sesyogyanya sebagai sesama muslim kita harus mengapresiasi atas keberangkatan mereka. Setidaknya mendoakan mereka semoga berangkat dengan selamat dan pulang membawa predikat haji mabrur. Kita berkepentingan dengan kemabruran haji mereka. Karena haji mabrur yaitu asset umat, untuk membangun bangsa dan masyarakat. lantaran mustahil haji mabrur, berlaku tindakan KKN, mustahil haji mabrur ngemplang pajak, haji mabrur tidak akan tidur ketika rapat di DPR, atau akal-akalan tidur ketika ada kerja bhakti di kampungnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam khutbah Wukuf di Arafah, pada ketika haji wada’. Yang sebagian yaitu sebagai berikut :
Yaa ayyuhan naas inna robbakum waahid, wa inna aabaaukum waahid kullukum min aadam, wa aadamu min turaab, inna akromakum ‘indallaahi atqaakum laa fadla li’arobiyyin wa laa ‘ajamiyin wa laa ‘ajamiyin ‘alaa ‘arabiyin illaa bitaqwa.(Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya Tuhanmu itu yaitu Esa, dan sesungguhnya, bapakmu yaitu satu, kau semua dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, bersama-sama orang yang paling mulia di antara kau di hadapan Allah yaitu yang paling taqwa. Tidak sedikit pun ada kelebihan bangsa Arab dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa).
Nilai esensial, dari khutbah Rasulullah SAW ini adalah, pertama, ratifikasi ketahudan. Kedua, penataan Rasulullah SAW terhadap umat manusia. Bahwa insan mempunyai kapasitas egaliter (kesamaan) dan persaudaraan.
Dalam perspektif sejarah, ketika dia mengawali dakwahnya, salah satu kiprah berat yang harus dipikul Rasulullah SAW yaitu ratifikasi persamaan antara as siyadah wal ‘abid (tuan dan hamba). Orang Arab terbiasa dengan aristokrasi. Bangsawan dengan banyak sekali beberapa budak yang mengelilinginya. Budak bagi bangsa Arab yaitu harta kekayaan, dia tidak mempunyai hak sedikitpun, bahkan terhadap dirinya sendiri. Sementara tuannya, mempunyai hak sepenuhnya atas budaknya. Jadi, amat berat Rasulullah SAW memberikan fatwa persamaan hak tersebut. Penentangan yang luar biasa berasal dari aristokrasi Makkah pada ketika itu, lantaran menganggap fatwa persamaan hak ini merupakan fatwa yang aneh dan tidak lazim. Karena tuan yaitu pemilik, sementara budak yaitu yang dimiliki, sehingga tidak akan mungkin mempunyai kesamaan hak. Namun, dengan kegigihan Rasulullah SAW sanggup memberikan fatwa ini dengan sukses.
Dewasa ini, zaman yang berada di kala modern, kala yang serba ilmu pengetahuan, di mana ilmu pengetahuan menjadi komandan bagi kehidupan kita, seperti tidak ada sekat, maka, penerapan nilai fatwa penyamaan hak dan persaudaraan ini harus lebih mengarah dengan cara ilmu pengetahuan.
Kita gres saja membuka “kunci rumah”, namun belum terbuka lebar. Sekarang “pintu” itu sudah agak terbuka, di mana pergaulan antar dunia, sudah sedemikian melekat, dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa yang terjadi di benua lain, sanggup terjadi di benua kita. Atau bahkan terjadi di rumak kita pada hari ini juga. Era yang demikian ini, membutuhkan perhatian ekstra. Bukan hanya membawa imbas perkembangan negative ekonomi, sosial, politik, tetapi, kenyataan ini akan mengancam kehidupan keberagamaan kita. Nilai-nilai persaudaraan sesama muslim mulai terkoyak. Kita melihat kondisi saudara kita yang berada di Yaman, di Siria, di Palestina, di Mesir dlsb.
Kita sebagai hamba Allah, seharusnya bangga, lantaran Rasulullah SAW sendiri besar hati dengan menyandang ‘abdullah (hamba Allah). Tetapi, apakah orientasi sebagai hamba Allah sudah konsisten, bahwa hanya kepada Allah, kita berorientasi tidak kepada yang selainNya. Seorang hamba Allah, akan lebih gampang mendapatkan peringatan, kalau peringatan itu datangnya dari sesama saudara kita. Maka, di sinilah pentingnya persaudaraan itu.
Di kala yang kini ini, di mana kita diharuskan menerapkan nilai-nilai kesamaan dan persaudaraan tidak lagi memakai cara-cara doktriner. Tetapi, lantaran eranya sudah kala ilmu pengetahuan, maka seharusnya dengan cara mengaplikasikan ilmu pengetahuan. Semoga kita sanggup menerapkan fatwa Rasulullah SAW sebagaimana dijelaskan dalam khutbah haji wada’ itu, sehingga persaudaraan dan persamaan hak sanggup kita wujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Posting Komentar untuk "Penerapan Nilai-Nilai Islam Dalam Peradaban Masa Kini"